Menyakitkan adalah ketika mengucapkan selamat tinggal kepada
seseorang yang kita tidak ingin membiarkannya pergi, dan akan lebih menyakitkan
lagi ketika meminta seseorang untuk tetap tinggal padahal mereka enggan untuk
tinggal.
“Kenapa kamu sekarang berubah, kamu beda tak seperti dulu “ aku
tertunduk dengan wajah sedih.
“Siapa? Aku? Hah! Kamu bilang aku berubah” bentaknya.
“Kamu kenapa sekarang
tak pernah perduli lagi sama aku, bukankah kamu tahu kalau aku sayang
sama kamu” tanyaku lagi. “Masa bodoh, aku sudah bosan denganmu, kamu selalu
bersikap berlebihan, kamu pikir kamu segala-galanya untukku” jawabnya penuh
dengan amarah.
“Apa yang berlebihan? Semua aku rasa biasa saja, bukankah
itu wajar karena aku pacarmu lalu aku ingin perhatian dari kamu karena kamu terlalu
acuh“. “Tapi kamu, argggh kamu itu, mengapa ada wanita bodoh macam kamu!”
bentaknya lagi. “kapan aku bisa berarti untuk kamu?”, tanyaku menahan air mata.
“Berarti?, semua yang ada pada kamu tak pernah berati untukku” jawabnya
seolah-olah tak menggunakan otaknya untuk berpikir. “Padahal segala tentang
kamu selalu begitu berarti di mataku” kataku disertai tangis yang tak bisa aku
tahan lagi. “Itu urusanmu” jawabnya singkat amat menyakitkan.
“Jadi apa arti kita selama ini?”, “semuanya tak berarti apa-apa
untukku kamu mengerti itu” ucapnya dengan suara keras. “Lalu bagaimana dengan
hubungan kita?” aku masih inginkan kejelasan, “ya kita sudahi saja” jawabnya
ringan. “Tapi aku masih menyayangimu” aku meraih tangannya, “tapi aku tidak!!”
ucapanya sembari menghempaskan tanganku.
Aku benci keadaan seperti ini,keadaan dimana aku berusaha
menahan air mataku namun tetap tak bisa aku tahan, “Kamu lihat dia?” tanyanya
menunjuk seorang wanita yang duduk membelakangi aku dan dia, di kejauhan. “Ya”
jawabku singkat, dia hanya tersenyum sinis mendengar jawabanku, “siapa dia?”
tanyaku lagi “dia adalah seseorang yang jauh lebih baik dari kamu” ucapnya
masih mengambang.
“Dia? Dia perempuan yang duduk disana? Dia yang menjadi
alasanmu meninggalkan aku?” aku memberondongnya dengan pertanyaan, “iya, dia
lebih baik darimu dan aku mencintainya, dia jauh lebih tegar dan mandiri dari
kamu, kamu adalah wanita bodoh dan cengeng yang selalu menggunakan air mata
sebagai senjata andalanmu” kata-katanya amat sangat menyakitkanku. “Ya aku tahu
aku memang bodoh, aku tak seluar biasa dia, dia bisa memberikan kamu segalanya”
aku terisak meski sedari tadi aku mencoba menahan tangisku, dia merogoh saku bajunya dan
mengeluarkan sapu tangannya untukku, aku hanya terdiam tertunduk.
“Kenapa harus aku
yang harus merasakan sakit karena sikapmu ini, kenapa, kenapa?” tanyaku
dengan suara yang agak keras, aku benci saat-saat seperti ini, saat air
mataku mengalir tanpa aku kehendaki. “Lalu
mengapa kamu dulu memilih aku untuk menjadi seseorang yang kamu cinta, jika
kamu tahu ada wanita lain yang jauh lebih baik dari aku, sekarang apa mau kamu?
Kamu ingin meninggalkan aku demi wanita itu?” aku mulai menyerah dengan sikap
keras kepalanya, “ya” jawabnya amat begitu singkat, aku memeluknya erat, Tuhan
mengapa perpisahan itu selalu menyakitkan, dia hanya terdiam mematung, sikapnya
begitu dingin padaku. “Baiklah jika itu yang bisa membuat kamu bahagia,
kejarlah cintamu bersama dia, lanjutkan kisah cintamu itu, bahagiakan dirimu
bersama dia, pergilah jaga dirimu baik-baik dan jangan sakiti dia” ucapku
mencoba tak menangis lagi, aku menatap kekasih barunya dari kejauhan, kekasih
barunya itu masih tetap duduk membelakangi aku dan dia.
“Pergilah”, katakku padanya aku menarik nafas panjang
berharap akan temukan ketenangan , “baiklah” ucapannya tak lagi penuh amarah
dia membalas pelukanku, lalu kita berpelukan selama satu menit, aku biarkan dia
melepaskan peluknya, dia memegang pundakku lalu berkata “aku harap kamu akan
bahagia pula, meski tanpa sosok aku disampingmu” dia membalikan badannya dan
berlalu meninggalkan aku, menghampiri kekasih barunya, seorang wanita yang
membuat dia memilih untuk meninggalkan aku.
Dia meraih tangan wanita itu, lalu berjalan menjauh dan
semakin menjauh meninggalkan aku yang masih tetap terpaku menatap kepergiannya.
Aku mencintaimu, dan kamu mencintai dia ucapku menatap kepergiaanya seiring bayangnya pun kian menghilang.






2 komentar:
Greate post...^_^
terimakasih :)
Posting Komentar